Bidikmisi Membawa Mutiara dalam Kesulitan
Oleh : Eka puspita sari
Inilah kisah kehidupanku. Ku tulis
dalam catatan-catatan terpisah semenjak aku duduk di bangku SD. Semenjak itu
pula aku lebih suka mengekspresikan keluh kesahku dalam sebuah tulisan
dibanding lansung bercerita. Karena dulu aku tak mempunyai sahabat yang menjadi
sandaran tempatku bercerita. Jangankan sahabat, ibu pun aku tak punya. Ya , aku
adalah seorang piatu. Ketika ingin menangis, tertawa, merengek, bercanda dan
bermanja padanya aku tak bisa. Padahal dalam usiaku yang masih dini seharusnya
aku banyak menghabiskan waktuku dengan orang tua dan keluarga tapi hal itu
tidak pernah ku rasakan sampai sekarang.
Ibuku meninggal sejak aku berumur
lima tahun. Aku ingat sekali pada waktu itu, aku baru beberapa minggu sekolah
di taman kanak-kanak (TK). Setiap harinya ibu setia menemaniku bersekolah,
menungguiku sampai aku pulang dan membantuku saat aku terjatuh dari jungkat
jungkit. Belum lagi ketika kami asik bermain sepeda mengitari desa yang dulu
masih begitu asri. Membuat kue dan bersama-sama memasarkannya, semua itu terasa
begitu indah. Namun Allah mempunyai kehendak lain dibalik kesenangan
makhluk-Nya. Dia panggil ibuku dalam rentan usia yang masih sangat muda dan
dengan tiga anak yang masih sangat kecil. Pada saat lembaran kenangan itu
dimulai, aku menyaksikan jenazah ibuku di angkat dan diletakkan dihadapanku.
Perlahan aku mendekat saat jenazah itu mulai dibaringkan dan di tutupi dengan
kain batik gelap. Aku mulai bertanya-tanya kepada Bapak, “ kenapa harus ditutupi pak? Nanti ibu gak bisa napas kalo gini”
sambil membuka kain putih yang menutupi wajah ibuku. Semua orang menangis
ketika aku mulai berbaring di samping ibuku dan sambil bercerita tentang apa
yang ku dapatkan hari itu di sekolah. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara
orang yang berlarian dan berteriak “Andi
pingsan.. Andi pingsan!”, Ya Allah, itu bapakku! Aku pun berlarian
mengikuti arah suara itu berasal. Ternyata benar, ayah ku pingsan.
Ba’da dzuhur jenazah segera di semayamkan
tepatnya di belakang rumah nenekku. Entah apa pada saat itu yang merasuki
perasaanku, ketika jenazah mulai dimasukkan dan dihadapakan ke kiblat tiba-tiba
aku loncat ke liang lahat dan terjatuh. Aku meronta-ronta kesakitan sambil
memegangi kafan ibuku. Aku berteriak “Ibu..
ibu jangan pergi. Aku ingin ikut ibu.. aku ingin ikut ibu!” tangisku pecah.
Sontak nenek, bibi dan keluargaku menangis melihat tingkahku. Aku pun
ditenangkan oleh seorang kyai namun tak lantas membuatku sadar sepenuhnya.
Malahan aku pingsan dalam waktu yang cukup lama.
Tiga
tahun kematian ibuku berlalu begitu saja. Semuanya berjalan sebagaimana
rencana-Nya. Kenyataan hidup sendiri dan harus menghidupi dan mengurus anak
sendiri ternyata membuat ayahku sering bertanya padaku, apakah beliau boleh
menikah lagi atau tidak. Awalnya aku tak mengizinkan namun setelah melihat
perjuangan beliau bekerja banting tulang setiap hari kemudian siang harinya
mencuci semua pakaian kami, memasak, megurusi adik-adik, lantas membuatku iba
pada bapak. Akhirnya ku izinkanlah bapak menikah. Tapi ternyata keluarga besar
bapak tidak mengizinkan bapak menikah lagi. Kemudian ada konflik kecil antara
bapak dan bibi sehingga pada akhirnya bapak tetap bersikukuh ingin menikah. Dan
akhirnya bapak tetap menikah dengan janda beranak satu pilihannya. Awal
pernikahan berjalan dengan mulus. Rumah tangga berjalan sebagaimana mestinya
dan aku menangkap rona bahagia bapak setelah menikah lagi, ditambah dengan
kehadiran seorang anak laki-laki yang selama ini sangat beliau idam-idamkan.
Bapak begitu sibuk dengan anak laki-lakinya dan keluarga dari istri barunya.
Dan emosi bapak pun lambat laun mulai berubah. Bapak mulai suka main tangan dan
tempramental. Bahkan pernah suatu hari, aku dan ketiga adikku ditampar lantaran
bapak lebih membela adik iparnya dibanding kami ketiga anaknya. Permasalahannya
itu sederhana, hanya karena masalah secarik kertas yang disobek oleh adik ipar
bapak dan menyalahkan aku dan adik-adikkulah yang sengaja menyobeknya. Malam
itu, aku dikagetkan dengan tamparan bapak pada kami bertiga, aku dan kedua adik
perempuanku. Satu per satu pipi kami merah lebam dan bapak seperti telah
kerasukan setan. Bapak tidak mendengarkan teriakan nenek yang sedari tadi
menyuruh berhenti. Dan untuk tamparan yang kedua kalinya, aku berkata kepada
bapak,
“Apakah kami masih bapak anggap sebagai anak
hah? Apa salah kami pak sampai-sampai bapak tega menampar kami? Cuma hanya
sebuah kertas lantas bapak menampar kami? Demi membela keluarga baru bapak itu
iya? Siapa dia pak... anak mu bukan!! Kami ini anak mu, bukan boneka yang kau
jadikan bahan pelampiasan amarahmu. Bunuh saja kalau kau mau..sesuai keinginan
istrimu bukan? Air mataku mengalir deras. Kedua adikku masih menangis
disampingku sambil memegangi pipinya. Sesaat bapak terdiam dan kemudian pergi. Sejak
saat itu, aku pun memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama bapak dan istrinya
dan lebih memilih tinggal bersama nenek dan bibiku.
Tetapi
konflik tidak sebatas itu saja. Aku mulai merasakan penentangan keras tentang
pendidikan dari ibu tiri ku saat aku duduk di bangku kelas XII SMA. Pada saat
itu aku bercerita kepada bapak tentang keinginanku melanjutkan kuliah setelah
lulus SMA. Bapak merespon positif keinginanku untuk terus bersekolah tetapi
tanpa disangka-sangka ibu tiriku itu berkata “Untuk makan saja susah apalagi mau kuliah. Sudahlah gaji bapakmu itu
tidak akan mencukupi pendidikanmu, lebih baik kamu kerja dan setelah itu
menikah”. Seuntai kalimat yang begitu menyakitkan bagiku. Aku benar-benar
terpuruk pada saat itu, aku berpikir tidak selamanya bibiku akan membantu aku
dan adik-adik padahal beliau sendiri masih banyak kebutuhan yang harus beliau
cukupi. Sedangkan kami masih dalam tanggungan bapak? Aku bingung harus mencari
cara bagaimana bisa kuliah di PTN walaupun pada saat itu aku sudah diterima di
PT swasta di Bandung jalur PMDK. Tetapi untuk biaya hidup dan uang semesteran
aku yakin tidak bisa memenuhi. Dan yang lebih parahnya lagi, PT tersebut sudah
meminta uang pembangunan yang harus dibayarkan sekitar bulan April.
Kadang
aku berpikir, alangkah enaknya jadi orang kaya ya? Teman-teman satu asramaku
tergolong anak kelompok elit semua. Ada yang orang tuanya pejabat, petani sawit
dan karet, ada yang dokter dan ada juga
yang pedagang sukses. Rata-rata mereka semua adalah yang setiap bulannya diberi
uang mulai dari Rp500.000 sampai Rp1.000.000 bahkan ada yang lebih. Tentu tidak
sulit bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan kemanapun mereka mau. Entah itu
negeri atau swasta, semuanya sama namun tentu akan berkebalikan dengan orang
seperti aku. Aku tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah atas keadaan ku ini
karna hal ini justru mendidikku bersikap lebih dewasa menjalani kehidupan. Dan
Allah membuktikan jalan-Nya bahwa Ia selalu bersikap adil kepada setiap
makhluk-Nya. Saat pengumuman SNMPTN Undangan aku dinyatakan LULUS sebagai
mahasiswi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB. Sebuah prestasi
yang luar biasa bagi aku sendiri karena sebelumnya tidak pernah terbayangkan dibenakku
bisa bersekolah di PTN. Tetapi justru hal ini menimbulkan pilihan yang
membingungkan. Di satu sisi aku telah terlanjur membayar uang pembangunan
sebesar Rp6.500.000 dan di sisi lain aku ingin sekali kuliah di IPB. Yang
membuatku sedih uang itu adalah hasil penjualan kebun dan itulah satu-satunya
investasi masa depan kami.
“Gara-gara ayuk kita jadi gak punya kebun
lagi, terus kita mau makan apa pak?”Kalimat itu ku dengar dari cerita
bibiku saat aku pulang sekolah. Penat lelah satu minggu di sekolah ditambah
lagi dengan persoalan keluarga yang membuatku hampir stress setiap harinya.
Cerita-cerita dan isu-isu di desa tentang bapak yang tidak bisa menjadi suami
yang baik, ibu tiri yang menyiksa anaknya, istri yang berselingkuh, keluarga
miskin, ya bla.. bla..bla dan bla.... cerita-cerita itu sangat menyiksaku.
Pernah terbesit dibenakku untuk tidak melanjutkan kuliah dan lebih memutuskan
bekerja. Tapi semua rencana ku itu dibantah keras oleh bibiku, akhirnya tetap
ku putuskan untuk kuliah. Singkat cerita, saat registrasi ulang IPB aku datang
diantar oleh bapak, mamang (om) dan adik laki-laki ku. Saat aku menyiapkan
berkas-berkas pendaftaran ulang, aku terhenti pada secarik kertas validasi. Di
kertas itu tertera nominal uang yang sangat besar bagiku. Melihat kondisi
keuangan keluargaku, itu tidak mungkin bagiku. Saat di wawancara oleh dosen,
beliau menanyakan kelebihan dan kekuranganku. Aku menceritakan semua yang ada
pada diriku termasuk kondisi keluargaku. Beliau pun melihat kondisi rumahku,
pada saat itu pikiranku masih kacau dengan bidikmisi. Apakah aku diterima atau
tidak? Dan saat selesai wawancara, ada satu kalimat yang beliau titipkan padaku
“potensi sangat besar nak, ibu percaya
kamu bisa berkembang di sini walaupun keterbatasan ada di sana sini. Tapi
percayalah semuanya pasti ada jalan keluar”, rasanya aku ingin menangis
pada saat itu. Dan tibalah pengumuman bidikmisi. Sore itu aku berjalan sendiri
menuju GWW, duduk sendiri tanpa satu orang yang ku kenal. Satu per satu
nama-nama dipanggil, ada yang diterima dan juga ada yang dipertimbangkan. Aku
pun semakin gugup apakah aku akan diterima atau tidak. Saat giliranku tiba, aku
menerima amplop berwarna putih. Laki-laki yang membagikan amplop itu
mengucapkan selamat padaku, Ya Allah apakah ini pertanda baik. Amplop pun di
buka dan alhamdulillah ya Allah aku diterima, aku menangis pada saat itu juga.
Sesampainya di rumah yang kami sewa satu minggu, aku menceritakan semuanya
kepada bapak dan mamang. Mereka ikut bahagia walaupun uang Rp6.500.000 itu
tidak bisa diambil. Dan alhamdulillah sebagai bentuk apresiasi dan kontribusi
untuk bidikmisi, aku sekarang menjadi koordinator bidikimisi untuk FEMA.
Terimakasih
ya Rabb, Terimakasih keluargaku, Terimakasih bidikmisi. InsyaAllah aku akan
buktikan apa yang menjadi harapan dan impian ku untuk negeri dan bangsa ini.
Bidikmisi, kaulah mutiara dalam kesulitanku !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar