Sabtu, 20 Oktober 2012

cerita inspiratif

Bidikmisi Membawa Mutiara dalam Kesulitan
                                                            Oleh : Eka puspita sari
            Inilah kisah kehidupanku. Ku tulis dalam catatan-catatan terpisah semenjak aku duduk di bangku SD. Semenjak itu pula aku lebih suka mengekspresikan keluh kesahku dalam sebuah tulisan dibanding lansung bercerita. Karena dulu aku tak mempunyai sahabat yang menjadi sandaran tempatku bercerita. Jangankan sahabat, ibu pun aku tak punya. Ya , aku adalah seorang piatu. Ketika ingin menangis, tertawa, merengek, bercanda dan bermanja padanya aku tak bisa. Padahal dalam usiaku yang masih dini seharusnya aku banyak menghabiskan waktuku dengan orang tua dan keluarga tapi hal itu tidak pernah ku rasakan sampai sekarang.


            Ibuku meninggal sejak aku berumur lima tahun. Aku ingat sekali pada waktu itu, aku baru beberapa minggu sekolah di taman kanak-kanak (TK). Setiap harinya ibu setia menemaniku bersekolah, menungguiku sampai aku pulang dan membantuku saat aku terjatuh dari jungkat jungkit. Belum lagi ketika kami asik bermain sepeda mengitari desa yang dulu masih begitu asri. Membuat kue dan bersama-sama memasarkannya, semua itu terasa begitu indah. Namun Allah mempunyai kehendak lain dibalik kesenangan makhluk-Nya. Dia panggil ibuku dalam rentan usia yang masih sangat muda dan dengan tiga anak yang masih sangat kecil. Pada saat lembaran kenangan itu dimulai, aku menyaksikan jenazah ibuku di angkat dan diletakkan dihadapanku. Perlahan aku mendekat saat jenazah itu mulai dibaringkan dan di tutupi dengan kain batik gelap. Aku mulai bertanya-tanya kepada Bapak, “ kenapa harus ditutupi pak? Nanti ibu gak bisa napas kalo gini” sambil membuka kain putih yang menutupi wajah ibuku. Semua orang menangis ketika aku mulai berbaring di samping ibuku dan sambil bercerita tentang apa yang ku dapatkan hari itu di sekolah. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara orang yang berlarian dan berteriak “Andi pingsan.. Andi pingsan!”, Ya Allah, itu bapakku! Aku pun berlarian mengikuti arah suara itu berasal. Ternyata benar, ayah ku pingsan.
            Ba’da dzuhur jenazah segera di semayamkan tepatnya di belakang rumah nenekku. Entah apa pada saat itu yang merasuki perasaanku, ketika jenazah mulai dimasukkan dan dihadapakan ke kiblat tiba-tiba aku loncat ke liang lahat dan terjatuh. Aku meronta-ronta kesakitan sambil memegangi kafan ibuku. Aku berteriak “Ibu.. ibu jangan pergi. Aku ingin ikut ibu.. aku ingin ikut ibu!” tangisku pecah. Sontak nenek, bibi dan keluargaku menangis melihat tingkahku. Aku pun ditenangkan oleh seorang kyai namun tak lantas membuatku sadar sepenuhnya. Malahan aku pingsan dalam waktu yang cukup lama.
Tiga tahun kematian ibuku berlalu begitu saja. Semuanya berjalan sebagaimana rencana-Nya. Kenyataan hidup sendiri dan harus menghidupi dan mengurus anak sendiri ternyata membuat ayahku sering bertanya padaku, apakah beliau boleh menikah lagi atau tidak. Awalnya aku tak mengizinkan namun setelah melihat perjuangan beliau bekerja banting tulang setiap hari kemudian siang harinya mencuci semua pakaian kami, memasak, megurusi adik-adik, lantas membuatku iba pada bapak. Akhirnya ku izinkanlah bapak menikah. Tapi ternyata keluarga besar bapak tidak mengizinkan bapak menikah lagi. Kemudian ada konflik kecil antara bapak dan bibi sehingga pada akhirnya bapak tetap bersikukuh ingin menikah. Dan akhirnya bapak tetap menikah dengan janda beranak satu pilihannya. Awal pernikahan berjalan dengan mulus. Rumah tangga berjalan sebagaimana mestinya dan aku menangkap rona bahagia bapak setelah menikah lagi, ditambah dengan kehadiran seorang anak laki-laki yang selama ini sangat beliau idam-idamkan. Bapak begitu sibuk dengan anak laki-lakinya dan keluarga dari istri barunya. Dan emosi bapak pun lambat laun mulai berubah. Bapak mulai suka main tangan dan tempramental. Bahkan pernah suatu hari, aku dan ketiga adikku ditampar lantaran bapak lebih membela adik iparnya dibanding kami ketiga anaknya. Permasalahannya itu sederhana, hanya karena masalah secarik kertas yang disobek oleh adik ipar bapak dan menyalahkan aku dan adik-adikkulah yang sengaja menyobeknya. Malam itu, aku dikagetkan dengan tamparan bapak pada kami bertiga, aku dan kedua adik perempuanku. Satu per satu pipi kami merah lebam dan bapak seperti telah kerasukan setan. Bapak tidak mendengarkan teriakan nenek yang sedari tadi menyuruh berhenti. Dan untuk tamparan yang kedua kalinya, aku berkata kepada bapak,
Apakah kami masih bapak anggap sebagai anak hah? Apa salah kami pak sampai-sampai bapak tega menampar kami? Cuma hanya sebuah kertas lantas bapak menampar kami? Demi membela keluarga baru bapak itu iya? Siapa dia pak... anak mu bukan!! Kami ini anak mu, bukan boneka yang kau jadikan bahan pelampiasan amarahmu. Bunuh saja kalau kau mau..sesuai keinginan istrimu bukan? Air mataku mengalir deras. Kedua adikku masih menangis disampingku sambil memegangi pipinya. Sesaat bapak terdiam dan kemudian pergi. Sejak saat itu, aku pun memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama bapak dan istrinya dan lebih memilih tinggal bersama nenek dan bibiku.
Tetapi konflik tidak sebatas itu saja. Aku mulai merasakan penentangan keras tentang pendidikan dari ibu tiri ku saat aku duduk di bangku kelas XII SMA. Pada saat itu aku bercerita kepada bapak tentang keinginanku melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. Bapak merespon positif keinginanku untuk terus bersekolah tetapi tanpa disangka-sangka ibu tiriku itu berkata “Untuk makan saja susah apalagi mau kuliah. Sudahlah gaji bapakmu itu tidak akan mencukupi pendidikanmu, lebih baik kamu kerja dan setelah itu menikah”. Seuntai kalimat yang begitu menyakitkan bagiku. Aku benar-benar terpuruk pada saat itu, aku berpikir tidak selamanya bibiku akan membantu aku dan adik-adik padahal beliau sendiri masih banyak kebutuhan yang harus beliau cukupi. Sedangkan kami masih dalam tanggungan bapak? Aku bingung harus mencari cara bagaimana bisa kuliah di PTN walaupun pada saat itu aku sudah diterima di PT swasta di Bandung jalur PMDK. Tetapi untuk biaya hidup dan uang semesteran aku yakin tidak bisa memenuhi. Dan yang lebih parahnya lagi, PT tersebut sudah meminta uang pembangunan yang harus dibayarkan sekitar bulan April.
Kadang aku berpikir, alangkah enaknya jadi orang kaya ya? Teman-teman satu asramaku tergolong anak kelompok elit semua. Ada yang orang tuanya pejabat, petani sawit dan karet, ada yang dokter dan ada  juga yang pedagang sukses. Rata-rata mereka semua adalah yang setiap bulannya diberi uang mulai dari Rp500.000 sampai Rp1.000.000 bahkan ada yang lebih. Tentu tidak sulit bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan kemanapun mereka mau. Entah itu negeri atau swasta, semuanya sama namun tentu akan berkebalikan dengan orang seperti aku. Aku tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah atas keadaan ku ini karna hal ini justru mendidikku bersikap lebih dewasa menjalani kehidupan. Dan Allah membuktikan jalan-Nya bahwa Ia selalu bersikap adil kepada setiap makhluk-Nya. Saat pengumuman SNMPTN Undangan aku dinyatakan LULUS sebagai mahasiswi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB. Sebuah prestasi yang luar biasa bagi aku sendiri karena sebelumnya tidak pernah terbayangkan dibenakku bisa bersekolah di PTN. Tetapi justru hal ini menimbulkan pilihan yang membingungkan. Di satu sisi aku telah terlanjur membayar uang pembangunan sebesar Rp6.500.000 dan di sisi lain aku ingin sekali kuliah di IPB. Yang membuatku sedih uang itu adalah hasil penjualan kebun dan itulah satu-satunya investasi masa depan kami.
Gara-gara ayuk kita jadi gak punya kebun lagi, terus kita mau makan apa pak?”Kalimat itu ku dengar dari cerita bibiku saat aku pulang sekolah. Penat lelah satu minggu di sekolah ditambah lagi dengan persoalan keluarga yang membuatku hampir stress setiap harinya. Cerita-cerita dan isu-isu di desa tentang bapak yang tidak bisa menjadi suami yang baik, ibu tiri yang menyiksa anaknya, istri yang berselingkuh, keluarga miskin, ya bla.. bla..bla dan bla.... cerita-cerita itu sangat menyiksaku. Pernah terbesit dibenakku untuk tidak melanjutkan kuliah dan lebih memutuskan bekerja. Tapi semua rencana ku itu dibantah keras oleh bibiku, akhirnya tetap ku putuskan untuk kuliah. Singkat cerita, saat registrasi ulang IPB aku datang diantar oleh bapak, mamang (om) dan adik laki-laki ku. Saat aku menyiapkan berkas-berkas pendaftaran ulang, aku terhenti pada secarik kertas validasi. Di kertas itu tertera nominal uang yang sangat besar bagiku. Melihat kondisi keuangan keluargaku, itu tidak mungkin bagiku. Saat di wawancara oleh dosen, beliau menanyakan kelebihan dan kekuranganku. Aku menceritakan semua yang ada pada diriku termasuk kondisi keluargaku. Beliau pun melihat kondisi rumahku, pada saat itu pikiranku masih kacau dengan bidikmisi. Apakah aku diterima atau tidak? Dan saat selesai wawancara, ada satu kalimat yang beliau titipkan padaku “potensi sangat besar nak, ibu percaya kamu bisa berkembang di sini walaupun keterbatasan ada di sana sini. Tapi percayalah semuanya pasti ada jalan keluar”, rasanya aku ingin menangis pada saat itu. Dan tibalah pengumuman bidikmisi. Sore itu aku berjalan sendiri menuju GWW, duduk sendiri tanpa satu orang yang ku kenal. Satu per satu nama-nama dipanggil, ada yang diterima dan juga ada yang dipertimbangkan. Aku pun semakin gugup apakah aku akan diterima atau tidak. Saat giliranku tiba, aku menerima amplop berwarna putih. Laki-laki yang membagikan amplop itu mengucapkan selamat padaku, Ya Allah apakah ini pertanda baik. Amplop pun di buka dan alhamdulillah ya Allah aku diterima, aku menangis pada saat itu juga. Sesampainya di rumah yang kami sewa satu minggu, aku menceritakan semuanya kepada bapak dan mamang. Mereka ikut bahagia walaupun uang Rp6.500.000 itu tidak bisa diambil. Dan alhamdulillah sebagai bentuk apresiasi dan kontribusi untuk bidikmisi, aku sekarang menjadi koordinator bidikimisi untuk FEMA.
Terimakasih ya Rabb, Terimakasih keluargaku, Terimakasih bidikmisi. InsyaAllah aku akan buktikan apa yang menjadi harapan dan impian ku untuk negeri dan bangsa ini. Bidikmisi, kaulah mutiara dalam kesulitanku ! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar